Prosedur Perizinan ISP

Berlapisnya proses perizinan telekomunikasi bagi ISP sering kali membuat ISP ciut nyalinya untuk melakukan pengurusan. Sebagian belum berani mulai mengurus karena takut akan ada biaya siluman dalam kepengurusan yang jumlahnya besar, meskipun pihak Postel sendiri setiap melakukan sosialisasi selalu mengatakan bahwa biaya pengurusan izin adalah nol rupiah. .

Konfigurasi VPN PPTP pada Mikrotik

Ketika mengimplementasikan VPN, interkoneksi antar node akan memiliki jalur virtual khusus di atas jaringan public yang sifatnya independen. Metode ini biasanya digunakan untuk membuat komunikasi yang bersifat secure, seperti system ticketing online dengan database server terpusat.

Penetrasi Internet (daerah) masih bergantung ISP Ilegal

Di saat ISP-ISP besar berkonsentrasi pada pengembangan usaha di Jakarta, daerah bisa dibilang menjadi anak tiri. ISP yang melakukan operasi secara nasional dan melakukan penetrasi ke daerah-daerah jumlahnya tidak lebih dari jumlah jari tangan kita.

Ahai...saya Jatuh Cinta Lagi...

Anda sedang jatuh cinta? Selamat. Mungkin, dedaunan tiba-tiba lebih hijau dari biasanya. Atau, tanpa sadar, diri anda menjadi lebih bersinar. Jatuh cinta yang baik, kabarnya, membuat seseorang menjadi lebih hidup, lebih bersemangat, bahkan juga, lebih pengasih, lebih mudah memaafkan, dan lebih tegar menghadapi masalah.

Keunggulan ClearOS

Salah satu kelebihan ClearOs dibanding distro linux lain adalah adanya antarmuka grafis berbasis web. Dengan adanya webconfig ini maka segala pengaturan ClearOS dapat dilakukan dengan mudah. Admin tidak perlu menguasai perintah berbasis teks (CLI), semua dapat dioperasikan dengan sistem remote berbasis grafis.

Minggu, 14 Desember 2008

Harga Premium Mestinya Rp 3.570

Laurencius Simanjuntak, Wahyu Daniel - detikFinance

Penurunan harga premium yang hanya Rp 500 menjadi Rp 5.000 per liter dinilai belum cukup. Harga premium mestinya masih bisa turun hingga ke Rp 3.570 per liter.

Harga tersebut didasarkan pada harga minyak mentah US$ 43 per barel, nilai tukar rupiah Rp 11.150/$US, alpha 9%, PPN 10%, PBBKB 5%

"Harga premium mestinya senilai Rp3.570/liter, solar juga sekitar itu. Jadi dengan premium Rp 5.000/liter, maka sebenarnya pemerintah masih mengeduk uang rakyat sekitar Rp 1.400/liter. Hitung saja kalo kebutuhan premium 58 juta liter per hari," ketus Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo kepada detikFinance, Senin (15/12/2008).

Di tempat terpisah, Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, penurunan harga premium dan solar dilakukan pemerintah dengan harapan bisa mendorong kegiatan ekonomi masyarakat.

"Pemerintah merespons penurunan minyak semata-mata untuk mendorong kegiatan ekonomi, menolong daya beli dan mengurangi beban ongkos industri," ujar Paskah saat ditemui dikantornya, Jakarta.

Paskah mengatakan, dengan kekhawatiran fluktuasi harga minyak dunia yang masih sangat tinggi pemerintah akan tetap menjaga harga premium dan solar di posisi harga awal sebelum penurunan kemarin dilakukan.

"Seiring krisis finansial dan perekonomian global. maka pemerintah akan tetap menjaga agar tidak melebihi harga awal sebelum penurunan, yaitu pada posisi harga premium maksimal Rp 6.000 dan solar Rp 5.500 per liter. ini yang akan dijaga
kendati terjadi fluktuasi yang sangat tinggi," paparnya.

Paskah mengatakan dengan kebijakan tersebut maka pemerintah akan melindungi dunia usaha dari gejolak harga tinggi. "Pemerintah akan menjaga harga keekonomisan. Premium tidak lebih dari Rp 6.000 dan premium tidak melebihi Rp 5.500," pungkasnya.

Senin, 08 Desember 2008

Sang Pelayan yang Kontroversial



Emha Ainun Nadjib
. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini mengaku seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan itu, pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah.

"Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah," katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan.

Selain manggung, ia juga menjadi kolumnis. Emha anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya.

Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat. Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Karirnya menanjak dan menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini.

Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media. Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Karya Seni Teater Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya. Bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama.

Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan `Raja` Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: "M" Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994) Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); "Kitab Ketentraman" (2001); "Trilogi Kumpulan Puisi" (2001); "Tahajjud Cinta" (2003); "Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun" (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).

Pluralisme Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia.

Setelah salat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Sholatullah salamullah/ 'Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ 'Ala yaasin Habibillah/ 'Ala yaasin Habibillah..." Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan.

"Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta saat itu, ia juga melakukan hal-hal yang kontroversial.

Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran. Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralisme?" katanya.

Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. "Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar," ujar Emha.

Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu.

"Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua," tutur budayawan intelektual itu.

Generasi Kempong

Oleh: Emha Ainun nadjib

Salah satu jenis kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Masih mending kalau mau mengkritik: "Cak Nun tulisannya susah dipahami, harus dibaca dua tiga kali baru bisa sedikit paham. Saya menjawab protes itu: "Anda kempong ya?" "Kok kempong..maksudnya?" "Kalau kempong ndak punya gigi, harus makan makanan yang tidak perlu dikunyah. Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan krupuk pun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter: kalau makan kunyahlah 33 kali baru ditelan. Sekedar makanan, harus dikunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana -maunya langsung ditelan sekali jadi" Teman saya itu nyengenges. "Coba Anda pandang Indonesia yang ruwet ini. Wong kalau Anda mengunyahnya sampai seribu kalipun belum tentu Anda bisa paham. Segala ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi dan kebudayaan mandeg dihadang keruwetan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan kelas satu saja kebingungan membaca Indonesia, lha kok Anda ingin mengenyam makanan tanpa mengunyah. Yokopo se mbaaaah mbah! Sampeyan iku jik cilik kok wis tuwek..." Kebudayaan kita instan. Mie-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk sorga juga instan. Kalau bisa, dapat uang banyak langsung, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalau perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal saya punya duit banyak.
Sedangkan Kitab Suci perlu kita baca terus menerus sepanjang hidup, itupun belum tentu memperoleh ilmu dan hikmah. Wong kita tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan kualitas hidup, lha kok menyanyikah shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan shalawat. Kalau Anda karyawan produksi televisi, Anda harus memperhitungkan harus bikin tayangan gambar yang sedetik dua detik nongol maka orang langsung senang. Penonton jangan dituntut untuk sedikit saja pun mendalami apa yang mereka tonton. Pokoknya kalau di depan teve sekilas pandang orang tak senang, ia akan langsung pindah channel. Jadi bikinlah tayangan yang diperhitungkan sebagai konsumsi orang-orang kempong yang tidak memiliki kemampuan dan tak punya waktu untuk mengunyah, menghayati dan mendalami. Maka acara yang terbaik adalah joget, joget, joget. Itu dijamin pasti langsung laku. Anda tak perlu berpikir tentang mutu kebudayaan, pendidikan manusia, sosialisasi nilai-nilai sosial atau apapun saja.
Baca koran juga dengan metodologi kempong. Generasi kempong tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi, sarkasme, sanepan, istidraj. Meskipun saya maling, asal saya omong seperti Ulama, maka saya dianggap Ulama. Sebaliknya meskipun saya tidak nyolong, kalau saya bilang "saya ini orangnya Suharto, saya dikasih perusahan PT Dengkulmu Mlicet..", orang instantly percaya bahwa saya memang orangnya Suharto. Meskipun saya seekor anjing, tapi kalu saya katakan bahwa saya kambing, orang langsung yakin bahwa saya bukan anjing. Generasi kempong sangat rentan terhadap apa saja, termasuk informasi. Tidak ada etos kerja. Tidak ada ideologi dharma, atau falya'mal 'amalan shalihan. Yang kita punyai hanya obsesi hasil, khayal pemilikan dan kenikmatan. Apapun caranya. Boleh rejeki langsung dari langit, boleh hasil copetan atau korupsi. Gus Dur kena gate, Akbar kena gate, ada AsaramaGate ada AsmaraGate dan beribu-ribu gate yang lain dari -asalkan yang nyolong semuanya kan kita relatif aman. Pak Amin Rais bilang kalau kita paksakan Pansus Buloggate-II dibentuk berarti akan terjadi pembubaran parlemen. Bahasa jelasnya, maling yang ditangkap yang tertentu saja. Kalau benar-benar memberantas maling, nanti DPR/MPR bubar, pemerintah bubar, seluruh Indonesia jadi Lowok Waru, Cipinang, buen-buen. Maka betapa indahnya kalau Pak Amin Rais menjadi pahlawan pembubaran Parlemen Maling,sebagai salah satu jalan mendasar dan total perbaikan dan penyembuhan Indonesia?
Sebab, lambat atau cepat, hal itu akan terjadi, meskipun tidak harus dalam bentuk wantah. Kalau rakyat tidak sanggup menagih, maka akan ada yang lebih kuat dari rakyat yang akan menagih. Pak Harto dikempongi, Habibie dikempongi, Gus Dur dikempongi, dan sekarang sedang mulai gencar Megawati dikempongi... 'Asa an tukrihu syai-an wa huwa khoirul-lakum, wa 'asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrun lakum. Apa yang selama ini engkau singkirkan, engkau anggap buruk, engkau coreng mukanya, engkau remehkan, engkau rendah-rendahkan atau engkau buang ke tong-tong sampah - akan menohok kesadaranmu dan engkau akan dipaksa menyadari bahwa sesungguhnya yang engkau anggap buruk itulah yang baik bagi kehidupan berbangsamu. Sebaliknya segala sesuatu yang engkau junjung-junjung, engkau blow-up, engkau puja-puji, engkau bela mati-matian, engka sangka akses utama masa depanmu - akan nglinthek di depan matamu dan engkau dipaksa menyadari bahwa ternyata ia sesungguhnya buruk bagi hidupmu. Apa yang sesungguhnya egkau harapkan dari keadaan-keadaan yang semakin lama semakin menyiksamu ini? Siapa sebenarnya Imam-mu yang sungguh-sungguh bisa engkau percaya? Siapa presiden-sejatimu? Siapa pemimpin yang nasibmu bisa saling rebah bersamanya? Siapa yang menjamin sembako di pawon-mu dan uang sekolah anak-anakmu? Siapa yang menjaga keamanan keluargamu dan nyawa anak-anak serta istrimu, padahal engkau sudah membayar pajak? Sampai kapan engkau menyanyikan lagu-lagu khayal siang malam di koran dan teve? Sampai kapan engkau berenang-renang di lautan takhayul? Apakah harus kita ubah Ajisoko kita menjadi Ho-no-co-ro-ko, Do-to-so-wo-lo, Po-dho-pe-kok-o, Mong-go-mo-dar-o..?
Sebenarnya diam-diam di dalam hatimu engkau sudah mulai merasakan dan mengakui hal itu, tetapi keangkuhan kolektifmu masih menjadi dinding bagi terbukanya kejujuranmu. Engkau tinggal memilih akan menjadi bagian dari generasi yang semakin kempong giginya, ataukah diam-diam engkau menumbuhkan lingkaran-lingkaran Indonesia baru yang menumbuhkan gigi-gigi masa depannya

Jumat, 28 November 2008

Alamat.....oh....alamat

Saya ingat prolog Emha dalam sebuah buku saku, "Jangan remehkan alamat. Kalau alamat anda sudah disensus dan terdaftar di buku negara. alamat politik anda? Belum tentu Badan Intelejen Nasional mengetahuinya secara persis. Mungkin sekedar menduga - duga, atau terpaksa melakukan identifikasi karena harus dicatat dan diperiksa oleh Pak kepala.

Di koran jelas anda tokoh parpol tertentu, tapi tiga tahun kemudian masyarakat dan negara kecele, karena anda mendadak looncat ke parpol lain. Kesalahan dari intel dan masyarakat adalah mencari alamat politik anda melalui formalitas parpolnya, padahal sebenarnya alamat politik anda adalah Kampung Kekuasaan, Jalan Ambisi, gang kepentingan pribadi. JANGAN REMEHKAN ALAMAT. Miliaran orang di dunia ini meninggal dunia tanpa diketahui alamatnya yang pasti, kecuali alamat geografisnya.


Kawan-kawan saya banyak bilang begini, "Mas ikut partai kita mas, ini aspirasi warga ormas kiita lho." Saya jawab, " saya lebih suka berjuang dengan cara saya, saya lebih suka informal, silakan njenengan-njenengan berpolitik di partai." Mereka merespon balik, " ehm, Mas lebih cenderung ke partai A ya? yang lebih religius, adhem ayem."

Begitulah, begitu banyak kawan-kawan saya beramai-ramai memasuki pelbagai partai politik. Ada di PKS, ada di PAN, ada di PDIP, ada di PKB, ada di GOLKAR dan lain-lainnya. Tapi saya lebih menyukai seperti ini saja, mencoba berjuang untuk lingkungan terdekat saya, belajar mandiri. Saya tidak ingin menggunakan media parpol atau ormas untuk kepentingan - kepentingan saya sendiri, seperti untuk sumber nafkah, kekuasaaan dan previlege-previlage duniawi.

Mungkin kawan-kawan bingung dan hanya bisa menebak, saya itu simpatisan parpol A, simpatisan parpol B, anggota ormas A, dan sebagainya.

Saya sepakat lagi dengan Emha, Indonesia iniadalah negara yang kacau balau. Ibarat sepakbola. Indonesia adalah tim yang semrawut. Tidak jelas bedanya antara pemain dan penonton, tidak jelas bedanya gelandang dan tukang es di pinggir lapangan, tidak jelas bedanya antara kiper dan striker; yang diwakili tidak punya kuasa atas yang mewakili. Yang mewakili tidak kenal yang diwakilinya. Buruh yang diupah dan difasilitasi mobil mewah dari uang rakyat malah berperilaku seperti raja diraja yang kaya raya dan rakyat harus membungkukkan badan bila bertemu.

Birokrasi negeri ini telah menjelma menjadi perampok yang dilindungi undang-undang bagi rakyatnya sendiri. saya berpikir, ini adalah hasil pendidikan kita. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan para guru dan sekolah. Karena pendidikan bukan tanggungjawab semata mereka, masih ada yang semestinya bertanggungjawab, yaitu keluarga.

saatnya kita mawas diri, sebagai ayah, sebagai ibu sudahkah kita memerankan sebagai pendidik bagi keuarga kita? Jika kita ingin mengajarkan kejujuran jangan pernah kita berbohong. Jika ingin mengajarkan kasih sayang jangan pernah kita berkelahi.

dalam lingkup yang lebih luas, Indonesia ini adalah sebuah keluarga juga. Jangan sampai sesama anggota keluarga saling mengeksploitasi, memaki, menghina dan menjatuhkan.

Bisa tidak ya?

Komputer Desktop Murah Hadir di Indonesia


Komputer merupakan salah satu gadget yang sangat diminati selain laptop, karena banyak memiliki kegunaan multi fungsi yang dapat melakukan berbagai macam kegiatan. Siapa orang yang tidak mau harga komputer yang super murah, tentunya harga yang murah ini akan berdampak terhadap daya beli konsumen.

Untuk itu PT Berca Cakra Teknologi meluncurkan Relion Ares, komputer desktop dengan harga sekitar dua juta rupiah. Komputer yang mungil itu berspesifikasi Intel Atom N230 CPU, memori 512MB DDR2 533MHz, hard disk SATA 80GB 7200 rpm, kartu grafis on board Intel GMA950, kartu audio Realtek ALC662 HD Audio dengan 6.0, serta kartu jaringan Realtek RTL8102E PCI-E 10/100m. Aksesori seperti keyboard, mouse dan monitor CRT 15 inci sudah termasuk pula dalam paket.

PC ini akan didistribusikan ke dunia pendidikan, pelayanan masyarakat dan pemerintahan. Begitu diungkap oleh Djoenaidi Handojo, Direktur PT Berca Cakra Teknologi. Pada kesempatan yang sama, PT Berca meluncurkan tiga produk yang lain. Diantara produk itu adalah Relion RL311 yang merupakan notebook berlayar 12 inci dengan harga terjangkau, Rp.4.900.000,00. Uniknya, semua port diletakkan di samping. Bagian belakang Cuma ada port untuk baterai, modem, dan jaringan.

Dua produk yang lain yang akan diluncurkan adalah PC desktop Relion Adroid dan notebook Adrena yang sudah dilengkapi dengan modem 3G HSDPA secara internal. Semua produk ini tersedia pada awal Desember.

(sumber: www.teknologinet.com)

Minggu, 23 November 2008

Asal Muasal Krisis Keuangan Global 2008

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus terus meningkat. Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung. Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang bisa rugi? Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan cara yang licik dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan. Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi. Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ”membesarkan’ ‘ perusahaan seperti itu dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.Tapi, itu belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap tidak cukup lagi: harus computerized! Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli rumah? Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ”Deregulasi Kontrol Moneter”. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan real estat diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian. Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR, meski tidak sama). Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ”jalan baru” pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada lagi ”jalan baru” yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986. Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ”mortgage” berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas. Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ”para pelaku bisnis keuangan” sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba. Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-undang perbankan yang keras.
Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ”bank jenis lain” yang disebut investment banking. Apakah investment banking itu bank? Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ”hanya mirip” bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal: menerima macam-macam ”deposito” dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, Fanny Mae dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang dengan istilah ”personal banking”.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage. Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya. Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang berikutnya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Krisis perumahan atau sub prime mortgage ini juga menghantam jutawan terkenal si Robert T Kiyosaki, kenapa? Karena model bisnisnya adalah utang bank untuk beli rumah yang kemudian disewakan, selanjutnya rumah tersebut dijual lagi dengan harga berlipat. Dengan kondisi sekarang harga rumah malah semakin turun karena tidak ada yang mampu beli.

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan satu. Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia yang ”menabung” -kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura, Hongkong, atau Tiongkok. Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa menanam jagung.

(Oleh: Dahlan Iskan – CEO Jawa Pos)

Kamis, 20 November 2008

Krisis Berulang-Ulang: Ada Apa dengan Pasar Global?

Oleh: Hidayatullah Muttaqin, SE, MSI

“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. … “

(T.Q.S. al-Maidah ayat 90).


Pasar modal dunia tergoncang! Terhempas hanya dalam hitungan hari. Indeks Dow Jones anjlok begitu dalam sebesar 679 poin hanya satu hari (7,3%). Ini crash yang tertinggi dalam 21 tahun terakhir sejak black monday 1987. Crash Wall Street sangat ironi, sebab terjadi setelah paket bail out senilai US$ 700 milyar mendapatkan persetujuan Senat dan Kongres Amerika Serikat. Tidak hanya itu, “badai Wall Street” memaksa “tengkurap” bursa efek di Eropa, Asia, dan Australia. Bahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) tutup tiga hari demi menyelamatkan IHSG dari kejatuhan yang lebih parah.

Goncangan pasar global (global market crash) pada tahun ini sudah dirasakan sejak Januari. Analis Standard & Poor’s (9/2), Howard Silverblatt menyatakan sangat sedikit tempat yang aman dalam berinvestasi di pasar modal pada bulan Januari 2008. Tercatat 50 dari 52 bursa saham global mengalami pertumbuhan negatif. Bahkan 25 di antaranya kehilangan dua digit. Laporan S&Ps menunjukkan kerugian para investor di bursa dunia dalam satu bulan mencapai US$ 5,2 trilyun. Suatu tingkat kerugian yang sangat fantastis, kurang lebih 53 kali penerimaan APBN-P 2008.

Selama Januari–Agustus 2008, sebagian bursa saham dunia anjlok sangat siknifikan. Indeks Dow Jones turun 10,04%, indeks Nikkei Jepang turun 13,98%, indeks Hang Seng Hongkong turun 20,59%, indeks Straits Times Singapura turun 18,48%. Penurunan paling besar dialami indeks Shanghai China 50,58% sedangkan IHSG BEI berada pada posisi 6 dengan tingkat keanjlokan mencapai 19,61%.

Perkembangan bursa saham dunia dalam satu tahun terakhir semakin parah seiring kebangkrutan bank investasi Amerika dan Eropa baru-baru ini akibat terlilit kebangkrutan subprime mortgage. Dalam periode 13/10/2007–14/10/2008 bursa utama dunia crash rata-rata di atas 30%. Bursa Wall Street kehilangan nilai lebih dari sepertiga. Indeks Nikkei Jepang loss hampir separonya sedangkan bursa saham Inggris juga kehilangan nilai lebih dari sepertiga. Kerugian paling parah dialami bursa saham China dengan tingkat loss sebesar 67,78%.

Bursa Efek Indonesia (BEI) termasuk yang mengalami kejatuhan terparah. Dalam satu tahun IHSG kehilangan nilai 41,02%. Sumbangan keanjlokan indeks yang paling besar terjadi pada tanggal 6 dan 7 Oktober 2008. Dalam dua hari IHSG anjlok 22,17% sehingga tinggal 1.451,66 poin jauh di bawah angka psikologis 2.000.

Pertanyaan paling mendasar dari peristiwa ini adalah; ada apa dengan pasar modal dunia?

Menciptakan Ekonomi Berbahaya: Bubble Economy

Bapak ekonomi Kapitalis Adam Smith membangun ajaran Kapitalisme dengan paradigma Laissez Faire. Menurut Adam Smith, setiap orang harus diberikan kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkannya tanpa campur tangan negara. Prinsip ini mendorong mekanisme dan transaksi ekonomi, termasuk hukum dan perundang-undangan tunduk pada prinsip kebebasan kepemilikan dengan nilai-nilai materialistis yang “hampa” agama (sekularisme). Dengan ini manusia terpancing meraup keuntungan sebesar-besarnya (profit oriented) tidak peduli bagaimana cara memperoleh dan apa dampaknya bagi orang lain dan lingkungan.

Kapitalisme berkembang. Sistem ekonomi berevolusi menjadi perekonomian yang didominasi sektor moneter. Sedangkan sistem moneter dibangun atas tiga pilar, yaitu fiat money, fractional reserve requirement, dan interest. Ketiganya menciptakan transaksi derivatif di sektor finansial, yakni transaksi berbasis portofolio. Inilah yang menciptakan bubble economy.

Bank-bank komersial dan bank-bank investasi memberikan utang kepada masyarakat dengan mempertaruhkan sektor riil. Utang yang dipinjamkan oleh bank kepada masyarakat bukanlah uang yang dimiliki bank, melainkan uang masyarakat yang dihimpun oleh perbankan. Permasalahannya, bank komersial dengan peraturan fractional reserve requirement dapat memberikan utang kepada siapa pun melebihi dana simpanan nasabah yang dihimpun oleh bank. Makanya tidak aneh, ketika terjadi rush perbankan mana pun di dunia pasti ambruk.

Dalam kasus subprime mortgage, kalangan perbankan di Amerika dan Eropa (khususnya Inggris) berani memberikan kredit perumahan (semacam KPR) kepada warga kelas bawah yang memiliki kemampuan finansial lemah. Mereka berkeyakinan, tidak masalah dengan ketidakmampuan orang-orang miskin membayar cicilan kreditnya. Jika kredit gagal bayar, rumah disita sedangkan cicilan hangus. Bagi bank, rumah tersebut dijual lagi kepada warga miskin lainnya sehingga kredit berjalan lagi dan pendapatan masuk kembali.

Untuk membiayai kredit subprime mortgage, bank menerbitkan portofolio dan dijual di pasar modal. Selanjutnya, portofolio utang tersebut diperdagangkan oleh para fund manager dengan melibatkan jutaan orang. Masing-masing di antara mereka melakukan perdagangan dengan tujuan mendapatkan capital gain.

Nilai perdagangan portofolio berbasis subprime mortgage di pasar modal AS pada tahun 2007 mencapai US$ 20 trilyun. Sedangkan nilai buku utang warga AS dalam kredit subprime mortgage mencapai US$ 1,3 trilyun (Maret 2007). Artinya perdagangan utang warga miskin AS di pasar modal nilainya “menggembung” lebih dari 15 kali lipat.

Ketika terjadi “bom” gagal bayar kredit subprime mortgage karena semakin tingginya tingkat inflasi di tengah masyarakat, bank menghadapi kredit macet. Akibatnya bank pemberi kredit subprime mortgage kesulitan likuiditas, kehilangan kemampuan membayar kewajiban atas portofolio yang diterbitkan di pasar modal. Kondisi ini menyebabkan hilangnya kepercayaan para pemain di lantai bursa. Sehingga mendorong mereka melepas portofolio subprime mortgage secara massive yang mengakibatkan nilai pasarnya jatuh.

Hingga awal tahun 2008 kerugian para pemegang portofolio ini mencapai US$ 2,4 trilyun. Bank pemberi kredit subprime mortgage pun berjatuhan. Pemberi pinjaman subprime mulai bangkrut atau diakuisisi oleh bank lain. Sedangkan bank investasi yang terlibat perdagangan portofolio subprime juga mengalami kebangkrutan dan menyebabkan nilai saham mereka seperti “sampah”.

Misalnya sejak bank investasi Lehman Brothers mengumumkan kerugian US$ 3,9 milyar (10/9/2008), nilai pasar sahamnya terpangkas 95%. Kerugian Lehman Brothers menyeret perusahaan asuransi terbesar AS American International Group (AIG) ke dalam kebangkrutan. Pasalnya, AIG menanamkan dana yang sangat besar pada Lehman Brothers. Kerugian dua raksasa finansial AS di samping raksasa finansial lainnya, menyebabkan hilangnya ekspektasi dan kepercayaan para pemain bursa. Penggembungan uang dan utang inilah yang mendorong jatuhnya bursa Wall Street dan merembet ke belahan dunia lainnya.

Krisis subprime mortgage mendorong spekulan memindahkan aksi ke bursa komoditas. Mereka menggembungkan harga-harga komoditas primer khususnya harga minyak mentah. Akibatnya, gejolak harga crude oil dunia melonjak drastis yang menyebabkan inflasi membumbung. Dalam World Oil Outlook 2008, OPEC menyebutkan spekulasi di lantai bursa komoditas merupakan faktor utama yang mengerek harga minyak mentah.

Menurut OPEC, pada tahun 2003 setiap perdagangan 1 physical barrel di NYMEX akan diikuti 6 paper barrels. Tahun ini penggembungan perdagangan portofolio minyak mentah meningkat 3 kali lipat. Setiap transaksi 1 physical barrel akan diikuti 18 paper barrels.

Pada tahun 2007 nilai bubble economy dari transaksi derivatif di pasar modal dunia meningkat 5 kali lipat dibandingkan tahun 2002 yang berjumlah US$ 100 trilyun. Transaksi derivatif tahun 2007 di lantai bursa mencapai US$ 516 trilyun. Angka ini setara dengan 43 kali lipat nilai transaksi ekspor impor dunia tahun 2006. Sedangkan PDB dunia pada tahun 2007 hanya mencapai US$ 54,311 trilyun. Ini artinya, transaksi derivatif pasar modal melebihi nilai out put riil dunia sebanyak 9,5 kali lipat.

Inilah beberapa contoh bagaimana bursa saham dalam perekonomian kapitalis menciptakan bubble economy. Perekonomian yang menggembung seolah-olah memberikan gambaran pertumbuhan tingkat kesejahteraan dan ukuran ekonomi meningkat sangat cepat. Suatu kondisi yang sangat berbahaya. Sebab angka yang lahir bukan dari transaksi barang dan jasa melainkan dari instrumen-instrumen efek, dan dari penggelembungan utang. Tidak mungkin seseorang dapat bertransaksi melebihi dari uang tunai atau kekayaan yang dimilikinya, kecuali transaksi itu hanya ada dalam perekonomian kapitalis.

Warren Buffet dan Analis pasar modal Paul B Farrel menyatakan bubble economy di lantai bursa dapat menjadi senjata pemusnah massa (weapon of mass destruction) yang sangat kejam, lebih berbahaya dari senjata nuklir dan perdagangan obat bius. Perputaran uang di lantai bursa merupakan racun perekonomian (economy toxid). Dalam sekejap dapat membunuh perekonomian suatu negara, memiskinkan puluhan dan ratusan juta manusia.

Bubble economy sudah lama memakan korban. Menurut IMF, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir 17 negera industri mengalami 113 kali goncangan sektor finansial dan separonya menyebabkan resesi. Bagaimana dampaknya terhadap dunia? Jawabnya kita sudah rasakan saat ini.

Menciptakan Kegiatan Ekonomi Berbasis Judi

Banyak orang yang berpikir bermain saham di lantai bursa merupakan sebuah inovasi investasi. Hanya dengan duduk sambil “memelototi” layar komputer yang tersambung internet atau cukup dengan mengangkat telepon, seseorang dapat meraup untung besar dalam sekejap. Seberapa besar keuntungan tergantung seberapa besar modal yang digelontorkan dan kecerdikan melihat kondisi pasar. Inikah yang dinamakan investasi?

Mari kita cermati pandangan paraih nobel Muhammad Yunus. Dalam wawancara dengan Spiegel Online, Muhammad Yunus mengatakan ketamakan telah merusak sistem keuangan dunia. Ketamakan menjadi “bahan bakar” pasar finansial. Akibatnya sistem keuangan dunia telah menjadi kasino. Dengan kata lain, bursa saham merupakan bursa judi dalam bentuk yang sangat inovatif.

Dalam perkara judi, Allah SWT dengan keras memasukkan perbuatan judi sebagai kegiatan keji termasuk perbuatan setan. Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (T.QS al-Maidah 90).

Said Hawa dalam karyanya al-Islam, menerangkan yang dimaksud judi adalah segala bentuk pemindahan hak kepemilikan secara tidak rasional, penyiaan waktu secara tidak rasional, dan pelumpuhan produktivitas secara tidak rasional pula. Rasulullah SAW bersabda: “Siapa bermain dadu, maka sungguh berarti dia mencelupkan tangannya ke dalam (adonan) daging babi dan darahnya.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

Syekh Muhammad Mutawali Sya’rawi dalam Tafsir Sya’rawi Jilid 4 menerangkan setiap orang yang bermain judi mau melakukan permainan ini dengan harapan akan menang. Tidak mungkin ia akan berjudi jika sudah tahu pasti kalah. Jadi ekspektasinya meraih untung sebesar-besarnya. Jika ia menang, maka kemenangan tersebut malah semakin mendorongnya untuk terus bermain judi. Jika ia kalah, permainan ingin terus dilanjutkan agar memperoleh kemenangan untuk mengembalikan uangnya yang lenyap. Mereka mungkin saja menjual segala bentuk kekayaannya untuk bermain judi.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah Volume 1 menyebutkan ciri judi adalah mendapatkan keuntungan dengan cara yang gampang, tanpa lelah, untung-untungan (spekulasi), menyebabkan ketidakseimbangan, penipuan, berbahaya, dan menimbulkan benih permusuhan.

Segala transaksi di pasar modal bermuara pada arena zero sum game. Setiap keuntungan yang diperoleh mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Dan keuntungan tersebut lahir dari transaksi yang sudah pasti spekulatif. Bahkan tidak jarang disertai penipuan dengan aksi goreng menggoreng, insider trading, dan juga short shelling. Aneka rupa portofolio pun dikembangkan, hutang diperdagangkan, sesuatu yang dalam Islam belum sah jadi miliknya pun diperjualbelikan, sampai-sampai sesuatu yang tidak jelas juga diperdagangkan.

Islam memperingatkan agar kaum Muslim memperoleh harta bukan dengan cara yang batil. “Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu makan harta kamu di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan dengan adanya saling kerelaan dari antara kamu.” (T.QS. an-Nisa’: 29). Kini kaum Muslim sudah banyak yang tidak mempedulikan lagi peringatan agama. Persis seperti yang dikatakan Rasulullah SAW: “Akan datang suatu masa di mana orang tak peduli akan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram” (HR Bukhari). Dalam hadis lain Rasulullah bersabda: “Sungguh kalian akan mengikuti sunnah (cara/metode) orang-orang yang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai sekalipun mereka memasuki lubang biawak, kalian tetap mengikutinya.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam seruan Rasulullah, kaum Muslim tidak hanya diminta meninggalkan yang haram. Yang subhat pun Rasulullah memerintah kita untuk meninggalkannya. “Sebenarnya yang halal itu jelas dan yang haram jelas pula. Di antara yang halal dan haram itu ada yang syubhat (tidak jelas), banyak orang tak mengetahuinya. Siapa yang menghindar dari syubhat, dia telah memelihara agama dan kehormatannya. Siapa yang terkena syubhat, maka dia terkena yang haram…” (HR Muslim)

Transaksi saham dan portofolio lainnya di pasar modal, apalagi di pasar sekunder adalah transaksi spekulatif. Para pemainnya disebut spekulator. Para pemain dari kelas “teri” hingga “raksasa” senantiasa berupaya menumpuk uang di lantai bursa. Akibatnya perputaran uang di sektor riil seret. Padahal masyarakat membutuhkan modal untuk usaha, apalagi saat ini pendapatan masyarakat sangat rendah dengan lapangan kerja yang sangat sempit. Allah SWT melarang perputaran uang hanya terjadi pada kelompok orang-orang kaya saja (lihat QS. al-Hasyar: 7) dan mengecam keras para penimbun uang (lihat QS. al-Taubah: 34).

Sebelum kejatuhan Bursa Efek Indonesia, setiap hari transaksi portofolio mencapai Rp 5 trilyun. Ini sangat ironi, mengingat pemerintah terus menumpuk utang terutama utang obligasi (SUN) karena ketiadaan dana untuk membiayai APBN. Lebih ironi lagi ketika utang negara telah menumpuk Rp 1.462 trilyun, sebagian transaksi dari pemain domestik mendapatkan pembiayaan dari bank. Sedangkan perbankan nasional sumber permodalannya berasal dari subsidi BLBI dan obligasi rekap dengan nilai pokok Rp 650 trilyun.

Penutup

Keserakahan manusia bersatu dalam sistem ekonomi Kapitalisme sehingga sistem ini begitu zhalim, menyiksa umat manusia, dan menciptakan kesenjangan yang sangat luar biasa. Tepat penilaian Muhammad Yunus, sistem keuangan Kapitalis dengan pasar modalnya telah menjadi arena perjudian.

Kaum Muslim tidak boleh masuk ke lobang yang sama untuk kedua kalinya. Demikian kata Nabi Muhammad SAW. Krisis finansial telah terjadi berulang-ulang dan sudah pasti akan datang lagi. Kebangkrutan pasar global dan dampaknya yang sangat berbahaya terhadap umat manusia disebabkan permasalahan sistem, yakni kerusakan ekonomi Kapitalisme. Karena itu dalam kegiatan ekonomi semestinya kita harus merujuk kepada Islam bukan kepada standar Barat yang sekuler. Marilah kita gali Islam sebagai sistem kehidupan yang harus diterapkan, yakni dengan memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah. []


Referensi

Amin, A. Riawan (2007), Satanic Finance, cet. i, Jakarta: Celestial Publishing.

an-Nabhani , Taqiyuddin (2002), Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (an-Nizham al-Iqtishadi fii al-Islam), cet. vii, Surabaya: Risalah Gusti.

China Daily (10/2/2008), World bourses lost $5.2 trillion in January - S&P index division

Detik Finance (11/8/2008), Bursa Saham Dunia Berjatuhan di 2008, IHSG Turun 19,61%.
Farrel, Paul B (10/3/2008). Derivatives the New ‘Ticking Bomb’, Market Wacth.

Financial Times (14/10/2008), Market Data.

Hawa, Said, al-Islam Jilid II, Jakarta: al-Itisom.

Hizbut Tahrir (1998), Sebab-Sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Hukum Islam (Hazzat al-Aswaq al-Maliyah Asbabuha wa Hukm as-Syar’i fii Nazihi al-Asbab), cet. i, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Khan, Adnan (2008), Kapitalisme di Ujung Tanduk: Tinjauan atas Krisis Global, Krisis Minyak, Krisis Pangan dan Bagaimana Sistem Ekonomi Islam Mengatasinya (The Global Credit Crunch and The Crisis of Capitalism), cet. i, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

OPEC, World Oil Outlook 2008.

Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah Volume I.
Spiegel Online (10/10/2008), Capitalism Has Degenerated into a Casino.

Skounsen, Mark (2006), Sang Maestro Teori-Teori Ekonomi Modern, cet. ii, Jakarta: Prenada Media.

Sya’rawi, Syekh Muhammad Mutawali, Tafsir Sya’rawi Jilid 4.

The Independent (10/10/2008), Panic sends Dow to its worst crash in 21 years.
Wikipedia, List of countries by GDP (nominal).

Alan Greenspan dan Krisis Keuangan Global

Judul: Alan Greenspan (Sosok di Balik Gejolak Ekonomi Dunia)
Judul Asli: Maestro (Greenspan’s Fed and The American Boom)
Penulis: Bob Woodward
Cetakan: Pertama, Maret 2008
Tebal: xii + 310 halaman
Penerbit: Ufuk Press

“Greenspan layak disebut Maestro karena ia seperti memimpin orkestra tetapi tidak memainkan satu instrumen pun. Ia menentukan suatu kondisi agar para pemain bermain dengan baik, jika mereka ingin bermain baik dan jika mereka mampu.”


DALAM pengamatan saya tiga pekan terakhir ini, pemberitaan (headlines) media lokal maupun asing didominasi krisis keuangan yang melanda Amerika Serikat. Koran, televisi, beberapa radio lokal serta portal berita mengupas dari berbagai sisi dampak krisis di Amerika tersebut kepada negera-negara lain.

Negara-negara Eropa pun yang relatif setara dengan Amerika sangat merasakan dampaknya. Ini lantaran lembaga keuangan atau korporasi di Eropa juga memiliki tali temali atau keterkaitan jejaring dengan lembaga keuangan di Negeri Abang Sam yang kolaps.

Imbas di Indonesia sudah mulai terasa dengan ditutupnya transaksi di Bursa Efek Jakarta (BEJ), sejak Rabu (8/10), lantaran perdagangan yang anjlok hingga di bawah 10 persen. Presiden Susilo Bambang Yudhyono pun sampai harus meminta informasi mutakhir secara update dari lembaga-lembaga terkait seperti Kadin, Bank Indonesia, BEI dan Kantor Menneg BUMN.

Sebuah koran nasional dalam edisi Minggu (5/10) menulis artikel panjang mengenai krisis keuangan global itu dengan judul “Runtuhnya Reputasi Bank Sentral AS”. Dalam tulisan itu disebutkan Bank Sentral AS (The Federal Reserves atau The Fed) memberikan sumbangsih yang tidak sedikit atas kehancuran ekonomi dengan dipuncaki keruntuhan Lehman Brothers, lembaga keuangan terbesar keempat di Amerika.

Bank Sentral dianggap bersalah karena memberikan pinjaman langsung kepada lembaga-lembaga korporasi AS tanpa jaminan yang setimpal. Parahnya lagi, Bank Sentral memberikan bantuan kepada Lehman Brothers kendati lembaga keuangan tersebut sudah jelas-jelas insolvent (tidak mampu memenuhi kewajiban). Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) seperti di Indonesia pun disebut-sebut sangat menonjol dalam krisis keuangan ini.

Membaca artikel tersebut saya jadi ingat buku berjudul Alan Greenspan, Sosok di Balik Gejolak Ekonomi Dunia hadiah dari teman-teman Ufuk Press yang belum saya baca tuntas. Dalam buku itu saya jadi sangat paham bahwa krisis keuangan di Amerika adalah bukan sebuah kecelakaan melainkan berulang dan terjadi dalam periode tertentu. Artinya, krisis ini sejatinya dapat diprediksi dan dapat dihindari.

Beranjak dari buku itu, saya pun membayangkan bila Greenspan masih menjabat sebagai Ketua The Fed. Sanggupkah dia menghadang krisis yang kini terjadi di Amerika yang disetarakan dengan Black Thursday pada 1929 akibat spekulasi di pasar modal ketika menyusul industri penyiaran radio dan produksi mobil mulai tumbuh?

Pertanyaan inilah yang membuat saya tambah penasaran untuk melahap habis halaman demi halaman buku yang dalam bahasa Inggris-nya diterbitkan pada 2000 ini. Saat itu Greenspan tengah bergelut dengan krisis keuangan dalam pemerintahan Bill Clinton.

Siapa Greenspan sehingga mendapat julukan Maestro The Fed? Keturunan Yahudi ini ditunjuk menjadi Ketua The Fed pada pemerintahan periode kedua Ronald Reagen dan satu periode dengan George Walker Bush atau sejak 1987 hingga 2006.

Kepiawaian dan keakuratannya dalam membuat kebijakan moneter mengokohkan Greenspan menduduki jabatannya dalam empat pemerintahan (Ronald Reagen, George Bush, Bill Clinton dan George Walker Bush) atau hampir 19 tahun.

Seperti ditulis dalam memoarnya Alan Greenspan: The Age of Turbulence, dua bulan setelah diangkat jadi Ketua The Fed pada 1987, AS diancam krisis ekonomi karena peristiwa Black Monday. Dia dengan tenang menyuntikan kredit kepada berbagai instansi keuangan AS sehingga krisis itu tidak merembet ke dunia lain.

Prestasi lainnya, Greenspan dapat menangkal krisis keuangan akibat bisnis internet dotcom, gelembung pasar sahan tahun 2000, resesi akhir 2000 dan 2002 termasuk peristiwa perselingkuhan Presiden Bill Clinton dengan Monica Lewinsky dan serangan teroris 21 September 2001.

Analisis yang tajam dan akurat dalam kebijakan moneter selalu ditunggu-tunggu pers dan pasar. Dari sinilah lahir joke di kalangan pasar dunia, suara batuk Greenspan pun bisa memengaruhi gejolak ekonomi dunia.

Pada saat Asia dilanda krisis ekonomi (1998), pria kelahiran 6 Maret 1926 ini termasuk yang mendesak Parlemen AS untuk mengabulkan permintaan pemerintahan Clinton melakukan penambahan duit ke Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai pinjaman, termasuk untuk Indonesia.

Namun, bukan berarti selama menjabat Ketua The Fed, Greenspan terus menerus mendapat sanjungan. Beberapa kali ia mendapat caci maki dari pengamat ekonomi serta pers dan bahkan tudingan, termasuk dari George Bush.

Dalam sebuah wawancara dengan sebuah televisi, mantan Presiden Bush menuding bahwa kebijakan Greenpan menjadi penyebab kekalahannya dalam pemilihan presiden untuk periode kedua jabatannya pada 1992.

“Saya kira jika suku bunga turun lebih dramatis maka saya akan terpilih kembali menjadi presiden karena pemulihan ekonomi akan tampak cerah,” kata Bush seraya menambahkan dengan semangat,” saya menunjuk dia lagi tetapi dia justru mengecewakan saya.” (hal. 233)

Tetapi sebaliknya dengan Presiden Clinton. Presiden dari Partai Demokrat ini menyatakan, dalam setiap kasus, satu jam bersama Greenspan selalu bermanfaat dan tambah ilmu.

Ini sesuai dengan wejangan Greenspan kepada setiap Presiden AS selama empat periode jabatannya sebagai Ketua The Fed: “Anda belajar banyak ketika segala sesuatu tidak sesuai dengan yang diperkirakan.”

Buku setebal 310 halaman ini sangat aktual dengan kondisi perekonomian Amerika yang tergunjang dan merembet hingga ke Indonesia ini. Intrik, kecurangan, intervensi, saling menyalahkan dan ketakutan sangat menonjol dalam buku ini.

Para pengambil kebijakan di pemerintahan, pelaku ekonomi, pengamat ekonomi dan siapa saja bisa belajar dari seorang Greenspan. Ia sempat ragu, khawatir dan keliru dalam mengambil kebijakan. Tapi ia beberapa kali selalu menekankan bahwa, menjaga kepala tetap dingin adalah sangat penting bagi The Fed

Peran IMF dalam Krisis Finansial Global Saat Ini Dipertanyakan

Rio de Janeiro (ANTARA News) - Presiden Brazil, Luis Inacio Lula da Silva, Selasa, mengecam Dana Moneter Internasional (IMF) dan AS atas peran mereka dalam gejolak finansial global yang saat ini berlangsung.

"Di mana IMF sekarang?" tanya Lula, di depan 3.000 buruh logam di kawasan pantai Angra dos Reis.

Kapan saja terjadi turbulensi finansial di Brazil atau Argentina, IMF selalu "muncul dengan berbagai rekomendasi dan mendikte apa yang harus dikerjakan dan tak boleh dilakukan," katanya, seperti dilaporkan DPA.

Ia juga menuduh AS bermain-main "dengan ekonomi ... mereka berperan dengan kebijakan keuangannya."

Dikatakannya, "semua orang tahu bahwa apa yang terjadi saat ini timbul akibat spekulasi finansial yang dimulai di AS. Mereka bermain-main dengan ekonomi dunia."

Lula menuding para pemimpin negara industri tidak bertindak untuk mencegah krisis yang dipicu oleh rontoknya pasar subprime mortgage (KPR untuk penduduk miskin Amerika).

Menurut Lula, ia telah berupaya membawa masalah ini pada KTT G-8 terakhir, tetapi sarannya tidak diindahkan.

"Mereka bertindak seperti tak terjadi krisis. Mereka hanya ingin berbicara tentang lingkungan, bukan krisis finansial," katanya.

Ketika melukiskan krisis finansial tersebut sebagai "sangat parah, kemungkinan paling serius dalam 50 tahun terakhir," ia menekankan bahwa Brazil telah melindungi dirinya dengan sebaik-baiknya.


(sumber: antara.co.id)

Rabu, 19 November 2008

Belajar Menjadi Pembelajar

TAK diragukan lagi, elemen yg paling krusial dan ultimat yg pasti dan harus dialami oleh setiap manusia adalah belajar. Sejak lahir hingga bertumbuh menjadi insan yg dewasa, seseorang terus belajar. Bahkan tanpa belajar, ia tidak akan survive. Belajar merangkak, belajar berdiri, belajar mengenali angka, belajar ke sekolah sendiri, belajar berelasi dgn sesama, belajar mencari nafkah, belajar mandiri, dan seterusnya tak habis-habis.

Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, tipe-tipe belajar seperti di atas sudah tidak memadai lagi. Manusia perlu menetapkan diri menjadi "pembelajar" untuk naik tingkat lebih tinggi. Karakteristik pembelajar yg lebih istimewa dan spesifik seperti apa lagi yg perlu pula di-embrace oleh setiap pribadi?

Berikut ini beberapa poin yg belum lengkap dan masih akan terus bertambah seiring dengan proses pembelajaran yg juga masih dan terus berlangsung dalam diri penulis. Daftar ini akan terus diperbarui, jadi silakan terus kunjungi blog ini dari waktu ke waktu.


* Belajar dari siapa pun dan apa pun (new)
At first glance, ini hal yg paling mudah diucapkan siapa pun. Kalau ditanya, mungkin sebagian besar orang tidak keberatan mengangguk: "Ya, why not?". Tapi apakah benar kita mau belajar dari siapa pun termasuk dari mereka yg jelas-jelas 'berseberangan' dengan kita baik secara pandangan maupun pemahaman yg paling hakiki yg menentukan keseluruhan hidup kita?

Belajar dari siapa pun sama sekali bukan hanya berarti mempelajari 'ilmu' yg mereka anut dan kuasai. Lebih dari itu. Seorang pembelajar juga akan bergembira apabila dapat menemukan benang merah dari apa yg ditemukannya dan berjalan bersama proses pembelajaran itu karena pihak lain telah ikut memperkaya hidup dan menambah nilai cakrawala pemikirannya.

Sayangnya, kerap kali kita kehilangan atau melewati tahap yg sangat bermakna ini akibat satu rintangan besar yg terus dan terus menghambat perjalanan kita sebagai pembelajar. Sikap kritis yg berlebihan. Bersikap kritis adalah penting, sangat perlu, bahkan juga merupakan salah satu unsur penting yg membuat 'pembelajar' [Akan ditambahkan kemudian]. Akan tetapi, mengkritisi segala sesuatu hingga seolah-olah tidak ada suatu pun yg bisa berlalu di depan mata tanpa saya kritisi adalah tindakan yg bukan saja tidak perlu, tapi juga jauh dari prinsip mangkus dan sangkil. Bagaikan menebar segenggam garam ke laut dan berharap air itu bisa lebih asin daripada sebelumnya.

At the end of the day, barulah kita menyadari bahwa kita ternyata hanyalah seorang pengkritik, bukan pembelajar. Bukankah lebih baik menjadi pembelajar yg mengkritisi daripada pengkritik yg mengeraskan pikiran dan secara substansi hanya menjadi pelajar, dan bukan pembelajar? Di sinilah bedanya membelajari (pembelajar) dari mempelajari (pelajar). Dalam bahasa Inggris memang perbedaan antara student dengan learner tidak sesolid dalam bahasa Indonesia karena learner dapat berarti pemula atau beginner. Namun, setelah saya pikirkan ulang ada juga nilai positifnya karena itu berarti seorang pembelajar senantiasa menempatkan dirinya pada posisi "lebih rendah" daripada orang atau sesuatu yg dia tempatkan "lebih tinggi" daripada dirinya untuk menerima pembelajaran itu. After all, tidak ada seorang murid yg belajar dari gurunya dalam posisi duduk yg lebih tinggi dengan muka memandang rendah ke arah pengajarnya.

Dari titik ini mengemuka unsur yg lain, yakni humility. Pada saat kita tahu pihak lain tidak memiliki pegangan yg lebih teguh daripada kita, amat sulit untuk belajar dari mereka (tentunya kalau ada sesuatu yg dapat dibelajari). Apalagi kalau pihak lain yg jelas-jelas bersalah. Kebesaran jiwa bukan hanya monopoli mereka yg telah mencapai kedewasaan penuh (maturity), tetapi juga mereka yg ingin belajar dari apa pun dan siapa pun.

* Belajar mengambil pelajaran
Berkaitan dengan poin sebelumnya, dalam setiap tahap hidupnya, seorang pembelajar kehidupan akan terus bertanya apa yg dia bisa pelajari (ambil pelajaran) dari peristiwa ini? Dari pengalaman bergaul dgn orang itu? Dari mengalami penyakit ini? Dari bekerja sama dgn berbagai tipe kepribadian manusia? [Akan dilengkapi kemudian.]

* Belajar menyukai keberagaman
Pembelajar menyenangi banyak hal dan senang akan variety. Mulai dari topik A hingga Z hampir semua dia sukai, paling tidak belajar untuk menyukainya. Menyukai tidak sama dengan menguasai. Apabila Anda berlatar belakang akuntansi, misalnya, Anda bisa saja amat tertarik dengan bidang marketing yg melibatkan kompetisi bisnis yg begitu seru dan menerapkan strategi perang Sun Tzu. Dari sini Anda jadi menggemari dunia militer terutama berbagai siasat dan taktik yg dipergunakan dalam perang-perang besar dalam sejarah. Tentunya seorang pembelajar juga akan mencoba menerapkan strategi-strategi tersebut untuk mengatasi masalah-masalah tertentu dalam kehidupannya. Menarik sekali, bukan?

Kemudian saat berkenalan dengan kawan yg berprofesi sebagai arsitek, Anda dapat berkomunikasi dalam bahasa arsitektur dan menggali banyak aspek soal bentuk berbagai bangunan dari kawan tersebut. Ketertarikan seseorang sebetulnya bisa mencakup apa saja: Sejarah, politik, ekonomi, environment, sastra, teologi, astronomi, bahkan sampai kepada kehidupan rakyat jelata yg mengerjakan the world's worst job seperti buruh pemecah batu di daerah tambang Pongkor di Gunung Putri Bogor yg sewaktu-waktu bisa longsor, penambang di daratan Tiongkok yg sampai harus memakan keping batu bara dan meminum air seninya sendiri utk menahan rasa lapar dan haus ketika terperangkap dan terkurung berhari-hari di dalam gua pertambangan. Minat akan sesuatu memang tidak akan bermanfaat apa pun apabila tidak ditidaklanjuti oleh tindakan apa-apa. Tetapi ketiadaan minat jelas menjurus ke arah ketidaktahuan dan yg lebih parah ketidakpedulian (bahasa Inggris menggabung kedua istilah ini dalam satu kata dgn bagus "ignorance").

* Belajar secara otodidak
To a certain extent, seorang pembelajar tidak terlalu suka "dibantu", bukan karena ingin accomplish semuanya sendiri tapi kalau terlalu banyak dibantu, di-supervise, ditopang, dijaga maka tidak banyak yg dapat ia pelajari (dengan melakukan kesalahan). Hal ini berlaku mulai dari dunia anak, bangku sekolah, hingga dunia kerja. Di dunia kerja Anda cukup beruntung kalau memiliki seorang supervisor yg sekaligus bisa menjadi mentor dalam menghadapi berbagai masalah. Any problem, bisa langsung tanya ke dia. To a certain extent, hal ini sangat memudahkan pekerjaan dan Anda bisa belajar lebih cepat karena bisa menghindari kesalahan-kesalahan yg tidak perlu dilakukan.

Di pihak lain, jika Anda terlalu bergantung kepada sang mentor, atau penyelia Anda terlalu mengawasi pekerjaan Anda karena ia begitu kuatir Anda melakukan kesalahan, Anda tidak bisa menjadi 'pembelajar' yg saya maksud di atas. Anda menjadi segan untuk beruji coba karena takut salah atau tidak mau menanggung risiko. Kecuali memang risiko yg ditanggung amat berbahaya, setiap kita idealnya lebih menyukai "tantangan" utk mempelajari pekerjaan itu sendiri. Seuntai pepatah dengan sangat tepat berujar: "A man becomes learned by making mistakes."

* Belajar itu tak terpuaskan
Belajar itu ada unsur kecanduannya, meskipun ini candu yg positif. Semakin banyak Anda belajar, semakin Anda sadar bahwa semakin banyak yg Anda masih perlu pelajari. Kalau tidak salah ingat, pertama kali saya mendengar kalimat ini dari guru matematika SMP saya yg paling yahud. Tidak belajar satu hari berarti mundur satu hari. Belajar sedikit dalam sehari berarti Anda tetap di tempat. Jadi bayangkan betapa jauhnya ketertinggalan kita apabila tidak belajar selama berminggu-minggu. Puncaknya, esensi kehidupan akan terhenti sama sekali kalau kita memutuskan tidak mau belajar lagi.

* Belajar berpikir di luar kotak
Istilah thinking out of the box sudah sering dikemukakan dan dibahas. Yang saya maksud di sini adalah seseorang yg sudah belajar dan menguasai spesialisasi tertentu begitu luas dan mendalam, namun mampu (atau mau) "melepaskan" dirinya dari seantero pengetahuan & pengalaman yg berada dalam otaknya dan mencoba melihat keadaan dari sudut pandang orang lain.

Contoh mudah berpikir di luar kotak: Seorang karyawan yg bisa berpikir seperti empunya bisnis perusahaan sehingga ia mampu berprestasi dan menghasilkan terobosan-terobosan kreatif di luar dari job description normalnya. Seorang businessman yg mau berempati dan menaruh dirinya dalam sepatu karyawan untuk setiap keputusannya sehingga ia dihormati bahkan disayangi oleh anak buahnya. Seorang rohaniwan yg mampu melihat masalah dari kacamata orang awam sehingga ia juga dapat berbicara dan menulis dalam "bahasa umat" dan bukan melulu "bahasa imam".

Mungkin tipe pembelajaran "out of the box" ini lebih mudah dikerjakan oleh mereka yg tidak memiliki keahlian di suatu bidang (specialist), tetapi mengerti sedikit mengenai banyak hal (generalist).

Challenge-nya adalah bagaimana menjadi generalist dengan latar belakang sebagai specialist. Untuk menjadi generalist, seorang pembelajar perlu menyukai banyak hal (Lihat poin "Belajar Menyukai Keberagaman" di atas). Sebagaimana saya sebutkan di atas, menyukai tidak sama dengan menguasai. Tidak mungkin kita bisa menguasai spesialisasi di banyak bidang, apalagi semua bidang. Dalam cerita2 dongeng dewa-dewi juga terspesialisasi: Ada dewa hujan, dewa matahari, dewa sungai, dewi padi, dewa dapur, dewa perang, dst. Hanya Tuhan Sang Pencipta saja yg menguasai semua spesialisasi di segala bidang dalam kehidupan ini karena memang Dia yg menciptakan segala sesuatu dan tanpa Dia tidak ada apa pun yg jadi dari segala yg telah dijadikan.

So, Manusia Pembelajar! Kita perlu realistis dan cukup berpuas dengan menjadi spesialist di sedikit bidang, namun sekaligus generalist di banyak bidang sehingga memperkaya kehidupan kita seraya mengakui Siapa Empunya Ultimat segala ilmu dan pengetahuan yg begitu melimpah dan tak terkatakan itu.

--
Salam pembelajar,