Anda sedang jatuh cinta? Selamat. Mungkin, dedaunan
tiba-tiba lebih hijau dari biasanya. Atau, tanpa sadar, diri anda menjadi lebih
bersinar. Jatuh cinta yang baik, kabarnya, membuat seseorang menjadi lebih
hidup, lebih bersemangat, bahkan juga, lebih pengasih, lebih mudah memaafkan,
dan lebih tegar menghadapi masalah. Seorang mahasiswi yang tengah jatuh cinta
bahkan pernah merasa bahwa pepohonan rimbun menuju kampusnya, yang ia lewati
belasan kali dalam seminggu, dengan motor, kepadatan jadwal, dan kebisuan yang
sama, tiba-tiba mengirimkan tasbih, yang bergemuruh bersama desir angin.
Dalam perpektif positif, cinta, seperti pesan yang tersirat dalam doa agung sang rasul ketika akan menikahkan putri kesayangannya, mengumpulkan semua yang berserak diantara dua subjek. Cinta menawarkan totalitas. Maka, dunia yang pernuh warna bisa tiba-tiba menjadi jingga semua.
Indah bukan?
Tetapi, dalam perspektif yang sebaliknya, cinta meniadakan warna lainnya. Ia menghanyutkan, menginfeksi kulit hingga saluran pernapasan, sampai ke ujung-ujung rambut yang tidak bersaraf.
Ia membohongi kesadaran bahwa dunia itu hanya satu warna. Bagaimana jika suatu saat orang yang paling dicintai itu berubah menjadi orang yang paling dibenci? Atau, bagaimana jika tiba-tiba, orang yang paling dicintai itu mati? Bukankah kesiapan untuk sungguh-sungguh mencintai juga mensyaratkan kesiapan implisit untuk, suatu saat, sungguh-sungguh kehilangan?
Cinta, seperti juga ciptaan Tuhan lainnya, bukankah juga ‘cuma’ sebuah amanah yang bisa diambil lagi sewaktu-waktu, kapan saja Dia mau?
Dalam perpektif positif, cinta, seperti pesan yang tersirat dalam doa agung sang rasul ketika akan menikahkan putri kesayangannya, mengumpulkan semua yang berserak diantara dua subjek. Cinta menawarkan totalitas. Maka, dunia yang pernuh warna bisa tiba-tiba menjadi jingga semua.
Indah bukan?
Tetapi, dalam perspektif yang sebaliknya, cinta meniadakan warna lainnya. Ia menghanyutkan, menginfeksi kulit hingga saluran pernapasan, sampai ke ujung-ujung rambut yang tidak bersaraf.
Ia membohongi kesadaran bahwa dunia itu hanya satu warna. Bagaimana jika suatu saat orang yang paling dicintai itu berubah menjadi orang yang paling dibenci? Atau, bagaimana jika tiba-tiba, orang yang paling dicintai itu mati? Bukankah kesiapan untuk sungguh-sungguh mencintai juga mensyaratkan kesiapan implisit untuk, suatu saat, sungguh-sungguh kehilangan?
Cinta, seperti juga ciptaan Tuhan lainnya, bukankah juga ‘cuma’ sebuah amanah yang bisa diambil lagi sewaktu-waktu, kapan saja Dia mau?
Saat ini mungkin anda juga sedang jatuh cinta dengan sebuah
komunitas yang membuat anda nyaman, karena sama dalam ide dan pemikiran, sama
dalam tujuan dan orientasi hidup. Bisa jadi sebuah ormas? Bisa jadi sebuah
partai politik.
Bagaimana jika orang-orang di komunitas yang kita cintai itu
berubah menjadi orang-orang yang kita benci mungkin karena mereka menjadi pendusta
atau berkhianat? Semoga tidak kita alami ...tapi jika terjadi, bagaimana? Lag-lagi,
Bukankah kesiapan untuk sungguh-sungguh mencintai juga mensyaratkan kesiapan
implisit untuk, suatu saat, sungguh-sungguh kehilangan?
Karena Cinta, seperti
juga ciptaan Tuhan lainnya, bukankah juga ‘cuma’ sebuah amanah yang bisa
diambil lagi sewaktu-waktu, kapan saja Dia mau?
Sayangnya, Tuhan adalah Lex Devina yang tidak bisa diprotes.
Lagi pula, agaknya indah jika seorang manusia mau menanggapi candanya, hingga
nanti, di perjumpaan terakhir, Ia tidak murka, tetapi tersenyum dengan
agung-Nya.
Untuk niat ini, tampaknya, ada tiga cara spiritual yang bisa ditempuh. Pertama, secara sadar, menolak cinta. Arti paling harfiah dari cara ini, tentu adalah tidak mau jatuh cinta, atau secara ekstrem, tidak percaya dengan lembaga perkawinan. Tetapi cara ini terlalu radikal dan serius hingga Tuhan tidak suka.
Kedua, mencintai dengan rasional. Karenanya, ada janji talak dalam surat kawin hingga perjanjian pembagian harta sebelum menikah. Yang paling ekstrem, seorang mencintai dengan perhitungan yang amat rasional, yakni dari bibit, bebet dan bobotnya. Cara ini pasti tidak akan membuatNya murka, tetapi entah ada dimana senyumNya.
Cara ketiga, menjadi pencinta sesungguhnya. Jika Tuhan bertanya, apakah anda jatuh cinta, katakan saja ya,, tetapi itu hanya karena itu satu-satunya cara untuk menghikmati kehadiranNya. Jika Tuhan menyuruh, menikahlah, katakan saja ya, tetapi itu hanya dilakukan karena tidak ada seorangpun yang sanggup menentangNya. Dan jika Tuhan bertanya lagi, sudahkah merasakan cinta yang sesungguhnya, katakan saja ya, tetapi itu hanya senda gurau saja karena hanya kehadiranNya yang mengabadikan semuanya. Jika Tuhan bertanya, mabuk cintakah? Katakan saja ya, tetapi segeralah juga minta agar yang tertuang adalah kebenaranNya.
Untuk niat ini, tampaknya, ada tiga cara spiritual yang bisa ditempuh. Pertama, secara sadar, menolak cinta. Arti paling harfiah dari cara ini, tentu adalah tidak mau jatuh cinta, atau secara ekstrem, tidak percaya dengan lembaga perkawinan. Tetapi cara ini terlalu radikal dan serius hingga Tuhan tidak suka.
Kedua, mencintai dengan rasional. Karenanya, ada janji talak dalam surat kawin hingga perjanjian pembagian harta sebelum menikah. Yang paling ekstrem, seorang mencintai dengan perhitungan yang amat rasional, yakni dari bibit, bebet dan bobotnya. Cara ini pasti tidak akan membuatNya murka, tetapi entah ada dimana senyumNya.
Cara ketiga, menjadi pencinta sesungguhnya. Jika Tuhan bertanya, apakah anda jatuh cinta, katakan saja ya,, tetapi itu hanya karena itu satu-satunya cara untuk menghikmati kehadiranNya. Jika Tuhan menyuruh, menikahlah, katakan saja ya, tetapi itu hanya dilakukan karena tidak ada seorangpun yang sanggup menentangNya. Dan jika Tuhan bertanya lagi, sudahkah merasakan cinta yang sesungguhnya, katakan saja ya, tetapi itu hanya senda gurau saja karena hanya kehadiranNya yang mengabadikan semuanya. Jika Tuhan bertanya, mabuk cintakah? Katakan saja ya, tetapi segeralah juga minta agar yang tertuang adalah kebenaranNya.
Terimakasih Mbak Mir.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan Tulis Komentar Di sini