Prosedur Perizinan ISP

Berlapisnya proses perizinan telekomunikasi bagi ISP sering kali membuat ISP ciut nyalinya untuk melakukan pengurusan. Sebagian belum berani mulai mengurus karena takut akan ada biaya siluman dalam kepengurusan yang jumlahnya besar, meskipun pihak Postel sendiri setiap melakukan sosialisasi selalu mengatakan bahwa biaya pengurusan izin adalah nol rupiah. .

Konfigurasi VPN PPTP pada Mikrotik

Ketika mengimplementasikan VPN, interkoneksi antar node akan memiliki jalur virtual khusus di atas jaringan public yang sifatnya independen. Metode ini biasanya digunakan untuk membuat komunikasi yang bersifat secure, seperti system ticketing online dengan database server terpusat.

Penetrasi Internet (daerah) masih bergantung ISP Ilegal

Di saat ISP-ISP besar berkonsentrasi pada pengembangan usaha di Jakarta, daerah bisa dibilang menjadi anak tiri. ISP yang melakukan operasi secara nasional dan melakukan penetrasi ke daerah-daerah jumlahnya tidak lebih dari jumlah jari tangan kita.

Ahai...saya Jatuh Cinta Lagi...

Anda sedang jatuh cinta? Selamat. Mungkin, dedaunan tiba-tiba lebih hijau dari biasanya. Atau, tanpa sadar, diri anda menjadi lebih bersinar. Jatuh cinta yang baik, kabarnya, membuat seseorang menjadi lebih hidup, lebih bersemangat, bahkan juga, lebih pengasih, lebih mudah memaafkan, dan lebih tegar menghadapi masalah.

Keunggulan ClearOS

Salah satu kelebihan ClearOs dibanding distro linux lain adalah adanya antarmuka grafis berbasis web. Dengan adanya webconfig ini maka segala pengaturan ClearOS dapat dilakukan dengan mudah. Admin tidak perlu menguasai perintah berbasis teks (CLI), semua dapat dioperasikan dengan sistem remote berbasis grafis.

Minggu, 14 Desember 2008

Harga Premium Mestinya Rp 3.570

Laurencius Simanjuntak, Wahyu Daniel - detikFinance

Penurunan harga premium yang hanya Rp 500 menjadi Rp 5.000 per liter dinilai belum cukup. Harga premium mestinya masih bisa turun hingga ke Rp 3.570 per liter.

Harga tersebut didasarkan pada harga minyak mentah US$ 43 per barel, nilai tukar rupiah Rp 11.150/$US, alpha 9%, PPN 10%, PBBKB 5%

"Harga premium mestinya senilai Rp3.570/liter, solar juga sekitar itu. Jadi dengan premium Rp 5.000/liter, maka sebenarnya pemerintah masih mengeduk uang rakyat sekitar Rp 1.400/liter. Hitung saja kalo kebutuhan premium 58 juta liter per hari," ketus Ketua FPDIP Tjahjo Kumolo kepada detikFinance, Senin (15/12/2008).

Di tempat terpisah, Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, penurunan harga premium dan solar dilakukan pemerintah dengan harapan bisa mendorong kegiatan ekonomi masyarakat.

"Pemerintah merespons penurunan minyak semata-mata untuk mendorong kegiatan ekonomi, menolong daya beli dan mengurangi beban ongkos industri," ujar Paskah saat ditemui dikantornya, Jakarta.

Paskah mengatakan, dengan kekhawatiran fluktuasi harga minyak dunia yang masih sangat tinggi pemerintah akan tetap menjaga harga premium dan solar di posisi harga awal sebelum penurunan kemarin dilakukan.

"Seiring krisis finansial dan perekonomian global. maka pemerintah akan tetap menjaga agar tidak melebihi harga awal sebelum penurunan, yaitu pada posisi harga premium maksimal Rp 6.000 dan solar Rp 5.500 per liter. ini yang akan dijaga
kendati terjadi fluktuasi yang sangat tinggi," paparnya.

Paskah mengatakan dengan kebijakan tersebut maka pemerintah akan melindungi dunia usaha dari gejolak harga tinggi. "Pemerintah akan menjaga harga keekonomisan. Premium tidak lebih dari Rp 6.000 dan premium tidak melebihi Rp 5.500," pungkasnya.

Senin, 08 Desember 2008

Sang Pelayan yang Kontroversial



Emha Ainun Nadjib
. Pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953, ini mengaku seorang pelayan. Suami Novia Kolopaking dan pimpinan Grup Musik Kyai Kanjeng, yang dipanggil akrab Cak Nun, itu memang dalam berbagai kegiatannya, lebih bersifat melayani yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik dan sinergi ekonomi. Semua kegiatan pelayannya ingin menumbuhkan potensialitas rakyat.

Bersama Grup Musik Kiai Kanjeng, Cak Nun rata-rata 10-15 kali per bulan berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, dengan acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Di samping itu, secara rutin (bulanan) bersama komunitas Masyarakat Padang Bulan, aktif mengadakan pertemuan sosial melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.

Dalam berbagai forum komunitas Masyarakat Padang Bulan itu, pembicaraan mengenai pluralisme sering muncul. Berkali-kali Cak Nun yang menolak dipanggil kiai itu meluruskan pemahaman mengenai konsep yang ia sebut sebagai manajemen keberagaman itu.

Dia selalu berusaha meluruskan berbagai salah paham mengenai suatu hal, baik kesalahan makna etimologi maupun makna kontekstual. Salah satunya mengenai dakwah, dunia yang ia anggap sudah terpolusi. Menurutnya, sudah tidak ada parameter siapa yang pantas dan tidak untuk berdakwah.

"Dakwah yang utama bukan dengan kata-kata, melainkan dengan perilaku. Orang yang berbuat baik sudah berdakwah," katanya.

Karena itulah ia lebih senang bila kehadirannya bersama istri dan kelompok musik Kiai Kanjeng di taman budaya, masjid, dan berbagai komunitas warga tak disebut sebagai kegiatan dakwah. "Itu hanya bentuk pelayanan. Pelayanan adalah ibadah dan harus dilakukan bukan hanya secara vertikal, tapi horizontal," ujarnya.

Emha merintis bentuk keseniannya itu sejak akhir 1970-an, bekerja sama dengan Teater Dinasti -- yang berpangkalan di rumah kontrakannya, di Bugisan, Yogyakarta. Beberapa kota di Jawa pernah mereka datangi, untuk satu dua kali pertunjukan.

Selain manggung, ia juga menjadi kolumnis. Emha anak keempat dari 15 bersaudara. Ayahnya, Almarhum MA Lathif, adalah seorang petani. Dia mengenyam pendidikan SD di Jombang (1965) dan SMP Muhammadiyah di Yogyakarta (1968). Sempat masuk Pondok Modern Gontor Ponorogo tapi kemudian dikeluarkan karena melakukan demo melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya.

Kemudian pindah ke SMA Muhammadiyah I, Yogyakarta sampai tamat. Lalu sempat melanjut ke Fakultas Ekonomi UGM, tapi tidak tamat. Lima tahun (1970-1975) hidup menggelandang di Malioboro, Yogya, ketika belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat memengaruhi perjalanan Emha berikutnya.

Karirnya diawali sebagai Pengasuh Ruang Sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta (1970). Karirnya menanjak dan menjadi Wartawan/Redaktur di harian Masa Kini, Yogyakarta (1973-1976), sebelum menjadi pemimpin Teater Dinasti (Yogyakarta), dan grup musik Kyai Kanjeng hingga kini.

Penulis puisi dan kolumnis di beberapa media. Ia juga mengikuti berbagai festival dan lokakarya puisi dan teater. Di antaranya mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).

Karya Seni Teater Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya. Bersama Halimd HD, networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama.

Di antaranya: Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan `Raja` Soeharto); Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan); Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern); Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).

Selain itu, bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun). Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar); dan Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, Duta Dari Masa Depan.

Dia juga termasuk kreatif dalam menulis puisi. Terbukti, dia telah menerbitkan 16 buku puisi: "M" Frustasi (1976); Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978); Sajak-Sajak Cinta (1978); Nyanyian Gelandangan (1982); 99 Untuk Tuhanku (1983); Suluk Pesisiran (1989); Lautan Jilbab (1989); Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990); Cahaya Maha Cahaya (1991); Sesobek Buku Harian Indonesia (1993); Abacadabra (1994); dan Syair Amaul Husna (1994) Selain itu, juga telah menerbitkan 30-an buku esai, di antaranya: Dari Pojok Sejarah (1985); Sastra Yang Membebaskan (1985); Secangkir Kopi Jon Pakir (1990); Markesot Bertutur (1993); Markesot Bertutur Lagi (1994); Opini Plesetan (1996); Gerakan Punakawan (1994); Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996); Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994); Slilit Sang Kiai (1991); Sudrun Gugat (1994); Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995); Bola- Bola Kultural (1996); Budaya Tanding (1995); Titik Nadir Demokrasi (1995); Tuhanpun Berpuasa (1996); Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997); Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997); Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997); 2,5 Jam Bersama Soeharto (1998); Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998); Kiai Kocar Kacir (1998); Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998); Keranjang Sampah (1998); Ikrar Husnul Khatimah (1999); Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000); Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000); Menelusuri Titik Keimanan (2001); Hikmah Puasa 1 & 2 (2001); Segitiga Cinta (2001); "Kitab Ketentraman" (2001); "Trilogi Kumpulan Puisi" (2001); "Tahajjud Cinta" (2003); "Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun" (2003); Folklore Madura (2005); Puasa ya Puasa (2005); Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara); Kafir Liberal (2006); dan, Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006).

Pluralisme Cak Nun bersama Grup Musik Kiai Kanjeng dengan balutan busana serba putih, ber-shalawat (bernyanyi) dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan kontemporer di hadapan jemaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia.

Setelah salat tarawih terdiam, lalu sayup-sayup terdengar intro lagu Malam Kudus. Kemudian terdengar syair, "Sholatullah salamullah/ 'Ala thoha Rasulillah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ 'Ala yaasin Habibillah/ 'Ala yaasin Habibillah..." Tepuk tangan dan teriakan penonton pun membahana setelah shalawat itu selesai dilantunkan.

"Tidak ada lagu Kristen, tidak ada lagu Islam. Saya bukan bernyanyi, saya ber-shalawat," ujarnya menjawab pertanyaan yang ada di benak jemaah masjid.

Tampaknya Cak Nun berupaya merombak cara pikir masyarakat mengenai pemahaman agama. Bukan hanya pada Pagelaran Al Quran dan Merah Putih Cinta Negeriku di Masjid Cut Meutia, Jakarta saat itu, ia juga melakukan hal-hal yang kontroversial.

Dalam berbagai komunitas yang dibentuknya, oase pemikiran muncul, menyegarkan hati dan pikiran. Perihal pluralisme, sering muncul dalam diskusi Cak Nun bersama komunitasnya. "Ada apa dengan pluralisme?" katanya.

Menurut dia, sejak zaman kerajaan Majapahit tidak pernah ada masalah dengan pluralisme. "Sejak zaman nenek moyang, bangsa ini sudah plural dan bisa hidup rukun. Mungkin sekarang ada intervensi dari negara luar," ujar Emha.

Dia dengan tegas menyatakan mendukung pluralisme. Menurutnya, pluralisme bukan menganggap semua agama itu sama. Islam beda dengan Kristen, dengan Buddha, dengan Katolik, dengan Hindu.

"Tidak bisa disamakan, yang beda biar berbeda. Kita harus menghargai itu semua," tutur budayawan intelektual itu.

Generasi Kempong

Oleh: Emha Ainun nadjib

Salah satu jenis kelemahan manusia adalah kecenderungan terlalu gampang percaya atau terlalu mudah tidak percaya. Masih mending kalau mau mengkritik: "Cak Nun tulisannya susah dipahami, harus dibaca dua tiga kali baru bisa sedikit paham. Saya menjawab protes itu: "Anda kempong ya?" "Kok kempong..maksudnya?" "Kalau kempong ndak punya gigi, harus makan makanan yang tidak perlu dikunyah. Orang kempong ndak bisa makan kacang, bahkan krupuk pun hanya di-emut. Kalau orang punya gigi, dia bisa menjalankan saran dokter: kalau makan kunyahlah 33 kali baru ditelan. Sekedar makanan, harus dikunyah sampai sekian banyak kali agar usus tidak terancam dan badan jadi sehat. Lha kok tulisan, ilmu, informasi, wacana -maunya langsung ditelan sekali jadi" Teman saya itu nyengenges. "Coba Anda pandang Indonesia yang ruwet ini. Wong kalau Anda mengunyahnya sampai seribu kalipun belum tentu Anda bisa paham. Segala ilmu sosial, ilmu politik, ilmu ekonomi dan kebudayaan mandeg dihadang keruwetan Indonesia. Ilmuwan-ilmuwan kelas satu saja kebingungan membaca Indonesia, lha kok Anda ingin mengenyam makanan tanpa mengunyah. Yokopo se mbaaaah mbah! Sampeyan iku jik cilik kok wis tuwek..." Kebudayaan kita instan. Mie-nya instan. Lagunya instan. Maunya masuk sorga juga instan. Kalau bisa, dapat uang banyak langsung, ndak usah kerja ndak apa-apa. Kalau perlu ndak usah ada Indonesia ndak apa-apa, ndak usah ada Nabi dan Tuhan juga ndak apa-apa, asal saya punya duit banyak.
Sedangkan Kitab Suci perlu kita baca terus menerus sepanjang hidup, itupun belum tentu memperoleh ilmu dan hikmah. Wong kita tiap hari shalat lima waktu rajin khusyuk sampai bathuk benthet saja belum tentu menemukan kebenaran. Wong naik haji sampai sepuluh kali saja belum dijamin akan memperoleh ridhollah. Lha kok sekali baca ingin mendapat kedalaman nilai, lha kok lagu-lagu pop diharapkan menawarkan kualitas hidup, lha kok menyanyikah shalawat dianggap sama dengan bershalawat atau melakukan shalawat. Kalau Anda karyawan produksi televisi, Anda harus memperhitungkan harus bikin tayangan gambar yang sedetik dua detik nongol maka orang langsung senang. Penonton jangan dituntut untuk sedikit saja pun mendalami apa yang mereka tonton. Pokoknya kalau di depan teve sekilas pandang orang tak senang, ia akan langsung pindah channel. Jadi bikinlah tayangan yang diperhitungkan sebagai konsumsi orang-orang kempong yang tidak memiliki kemampuan dan tak punya waktu untuk mengunyah, menghayati dan mendalami. Maka acara yang terbaik adalah joget, joget, joget. Itu dijamin pasti langsung laku. Anda tak perlu berpikir tentang mutu kebudayaan, pendidikan manusia, sosialisasi nilai-nilai sosial atau apapun saja.
Baca koran juga dengan metodologi kempong. Generasi kempong tidak punya waktu dan tidak memiliki tradisi untuk tahu beda antara kalimat sindiran dengan bukan sindiran. Tak tahu apa itu ironi, sarkasme, sanepan, istidraj. Meskipun saya maling, asal saya omong seperti Ulama, maka saya dianggap Ulama. Sebaliknya meskipun saya tidak nyolong, kalau saya bilang "saya ini orangnya Suharto, saya dikasih perusahan PT Dengkulmu Mlicet..", orang instantly percaya bahwa saya memang orangnya Suharto. Meskipun saya seekor anjing, tapi kalu saya katakan bahwa saya kambing, orang langsung yakin bahwa saya bukan anjing. Generasi kempong sangat rentan terhadap apa saja, termasuk informasi. Tidak ada etos kerja. Tidak ada ideologi dharma, atau falya'mal 'amalan shalihan. Yang kita punyai hanya obsesi hasil, khayal pemilikan dan kenikmatan. Apapun caranya. Boleh rejeki langsung dari langit, boleh hasil copetan atau korupsi. Gus Dur kena gate, Akbar kena gate, ada AsaramaGate ada AsmaraGate dan beribu-ribu gate yang lain dari -asalkan yang nyolong semuanya kan kita relatif aman. Pak Amin Rais bilang kalau kita paksakan Pansus Buloggate-II dibentuk berarti akan terjadi pembubaran parlemen. Bahasa jelasnya, maling yang ditangkap yang tertentu saja. Kalau benar-benar memberantas maling, nanti DPR/MPR bubar, pemerintah bubar, seluruh Indonesia jadi Lowok Waru, Cipinang, buen-buen. Maka betapa indahnya kalau Pak Amin Rais menjadi pahlawan pembubaran Parlemen Maling,sebagai salah satu jalan mendasar dan total perbaikan dan penyembuhan Indonesia?
Sebab, lambat atau cepat, hal itu akan terjadi, meskipun tidak harus dalam bentuk wantah. Kalau rakyat tidak sanggup menagih, maka akan ada yang lebih kuat dari rakyat yang akan menagih. Pak Harto dikempongi, Habibie dikempongi, Gus Dur dikempongi, dan sekarang sedang mulai gencar Megawati dikempongi... 'Asa an tukrihu syai-an wa huwa khoirul-lakum, wa 'asa an tuhibbu syai-an wa huwa syarrun lakum. Apa yang selama ini engkau singkirkan, engkau anggap buruk, engkau coreng mukanya, engkau remehkan, engkau rendah-rendahkan atau engkau buang ke tong-tong sampah - akan menohok kesadaranmu dan engkau akan dipaksa menyadari bahwa sesungguhnya yang engkau anggap buruk itulah yang baik bagi kehidupan berbangsamu. Sebaliknya segala sesuatu yang engkau junjung-junjung, engkau blow-up, engkau puja-puji, engkau bela mati-matian, engka sangka akses utama masa depanmu - akan nglinthek di depan matamu dan engkau dipaksa menyadari bahwa ternyata ia sesungguhnya buruk bagi hidupmu. Apa yang sesungguhnya egkau harapkan dari keadaan-keadaan yang semakin lama semakin menyiksamu ini? Siapa sebenarnya Imam-mu yang sungguh-sungguh bisa engkau percaya? Siapa presiden-sejatimu? Siapa pemimpin yang nasibmu bisa saling rebah bersamanya? Siapa yang menjamin sembako di pawon-mu dan uang sekolah anak-anakmu? Siapa yang menjaga keamanan keluargamu dan nyawa anak-anak serta istrimu, padahal engkau sudah membayar pajak? Sampai kapan engkau menyanyikan lagu-lagu khayal siang malam di koran dan teve? Sampai kapan engkau berenang-renang di lautan takhayul? Apakah harus kita ubah Ajisoko kita menjadi Ho-no-co-ro-ko, Do-to-so-wo-lo, Po-dho-pe-kok-o, Mong-go-mo-dar-o..?
Sebenarnya diam-diam di dalam hatimu engkau sudah mulai merasakan dan mengakui hal itu, tetapi keangkuhan kolektifmu masih menjadi dinding bagi terbukanya kejujuranmu. Engkau tinggal memilih akan menjadi bagian dari generasi yang semakin kempong giginya, ataukah diam-diam engkau menumbuhkan lingkaran-lingkaran Indonesia baru yang menumbuhkan gigi-gigi masa depannya