Rabu, 19 November 2008

Belajar Menjadi Pembelajar

TAK diragukan lagi, elemen yg paling krusial dan ultimat yg pasti dan harus dialami oleh setiap manusia adalah belajar. Sejak lahir hingga bertumbuh menjadi insan yg dewasa, seseorang terus belajar. Bahkan tanpa belajar, ia tidak akan survive. Belajar merangkak, belajar berdiri, belajar mengenali angka, belajar ke sekolah sendiri, belajar berelasi dgn sesama, belajar mencari nafkah, belajar mandiri, dan seterusnya tak habis-habis.

Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, tipe-tipe belajar seperti di atas sudah tidak memadai lagi. Manusia perlu menetapkan diri menjadi "pembelajar" untuk naik tingkat lebih tinggi. Karakteristik pembelajar yg lebih istimewa dan spesifik seperti apa lagi yg perlu pula di-embrace oleh setiap pribadi?

Berikut ini beberapa poin yg belum lengkap dan masih akan terus bertambah seiring dengan proses pembelajaran yg juga masih dan terus berlangsung dalam diri penulis. Daftar ini akan terus diperbarui, jadi silakan terus kunjungi blog ini dari waktu ke waktu.


* Belajar dari siapa pun dan apa pun (new)
At first glance, ini hal yg paling mudah diucapkan siapa pun. Kalau ditanya, mungkin sebagian besar orang tidak keberatan mengangguk: "Ya, why not?". Tapi apakah benar kita mau belajar dari siapa pun termasuk dari mereka yg jelas-jelas 'berseberangan' dengan kita baik secara pandangan maupun pemahaman yg paling hakiki yg menentukan keseluruhan hidup kita?

Belajar dari siapa pun sama sekali bukan hanya berarti mempelajari 'ilmu' yg mereka anut dan kuasai. Lebih dari itu. Seorang pembelajar juga akan bergembira apabila dapat menemukan benang merah dari apa yg ditemukannya dan berjalan bersama proses pembelajaran itu karena pihak lain telah ikut memperkaya hidup dan menambah nilai cakrawala pemikirannya.

Sayangnya, kerap kali kita kehilangan atau melewati tahap yg sangat bermakna ini akibat satu rintangan besar yg terus dan terus menghambat perjalanan kita sebagai pembelajar. Sikap kritis yg berlebihan. Bersikap kritis adalah penting, sangat perlu, bahkan juga merupakan salah satu unsur penting yg membuat 'pembelajar' [Akan ditambahkan kemudian]. Akan tetapi, mengkritisi segala sesuatu hingga seolah-olah tidak ada suatu pun yg bisa berlalu di depan mata tanpa saya kritisi adalah tindakan yg bukan saja tidak perlu, tapi juga jauh dari prinsip mangkus dan sangkil. Bagaikan menebar segenggam garam ke laut dan berharap air itu bisa lebih asin daripada sebelumnya.

At the end of the day, barulah kita menyadari bahwa kita ternyata hanyalah seorang pengkritik, bukan pembelajar. Bukankah lebih baik menjadi pembelajar yg mengkritisi daripada pengkritik yg mengeraskan pikiran dan secara substansi hanya menjadi pelajar, dan bukan pembelajar? Di sinilah bedanya membelajari (pembelajar) dari mempelajari (pelajar). Dalam bahasa Inggris memang perbedaan antara student dengan learner tidak sesolid dalam bahasa Indonesia karena learner dapat berarti pemula atau beginner. Namun, setelah saya pikirkan ulang ada juga nilai positifnya karena itu berarti seorang pembelajar senantiasa menempatkan dirinya pada posisi "lebih rendah" daripada orang atau sesuatu yg dia tempatkan "lebih tinggi" daripada dirinya untuk menerima pembelajaran itu. After all, tidak ada seorang murid yg belajar dari gurunya dalam posisi duduk yg lebih tinggi dengan muka memandang rendah ke arah pengajarnya.

Dari titik ini mengemuka unsur yg lain, yakni humility. Pada saat kita tahu pihak lain tidak memiliki pegangan yg lebih teguh daripada kita, amat sulit untuk belajar dari mereka (tentunya kalau ada sesuatu yg dapat dibelajari). Apalagi kalau pihak lain yg jelas-jelas bersalah. Kebesaran jiwa bukan hanya monopoli mereka yg telah mencapai kedewasaan penuh (maturity), tetapi juga mereka yg ingin belajar dari apa pun dan siapa pun.

* Belajar mengambil pelajaran
Berkaitan dengan poin sebelumnya, dalam setiap tahap hidupnya, seorang pembelajar kehidupan akan terus bertanya apa yg dia bisa pelajari (ambil pelajaran) dari peristiwa ini? Dari pengalaman bergaul dgn orang itu? Dari mengalami penyakit ini? Dari bekerja sama dgn berbagai tipe kepribadian manusia? [Akan dilengkapi kemudian.]

* Belajar menyukai keberagaman
Pembelajar menyenangi banyak hal dan senang akan variety. Mulai dari topik A hingga Z hampir semua dia sukai, paling tidak belajar untuk menyukainya. Menyukai tidak sama dengan menguasai. Apabila Anda berlatar belakang akuntansi, misalnya, Anda bisa saja amat tertarik dengan bidang marketing yg melibatkan kompetisi bisnis yg begitu seru dan menerapkan strategi perang Sun Tzu. Dari sini Anda jadi menggemari dunia militer terutama berbagai siasat dan taktik yg dipergunakan dalam perang-perang besar dalam sejarah. Tentunya seorang pembelajar juga akan mencoba menerapkan strategi-strategi tersebut untuk mengatasi masalah-masalah tertentu dalam kehidupannya. Menarik sekali, bukan?

Kemudian saat berkenalan dengan kawan yg berprofesi sebagai arsitek, Anda dapat berkomunikasi dalam bahasa arsitektur dan menggali banyak aspek soal bentuk berbagai bangunan dari kawan tersebut. Ketertarikan seseorang sebetulnya bisa mencakup apa saja: Sejarah, politik, ekonomi, environment, sastra, teologi, astronomi, bahkan sampai kepada kehidupan rakyat jelata yg mengerjakan the world's worst job seperti buruh pemecah batu di daerah tambang Pongkor di Gunung Putri Bogor yg sewaktu-waktu bisa longsor, penambang di daratan Tiongkok yg sampai harus memakan keping batu bara dan meminum air seninya sendiri utk menahan rasa lapar dan haus ketika terperangkap dan terkurung berhari-hari di dalam gua pertambangan. Minat akan sesuatu memang tidak akan bermanfaat apa pun apabila tidak ditidaklanjuti oleh tindakan apa-apa. Tetapi ketiadaan minat jelas menjurus ke arah ketidaktahuan dan yg lebih parah ketidakpedulian (bahasa Inggris menggabung kedua istilah ini dalam satu kata dgn bagus "ignorance").

* Belajar secara otodidak
To a certain extent, seorang pembelajar tidak terlalu suka "dibantu", bukan karena ingin accomplish semuanya sendiri tapi kalau terlalu banyak dibantu, di-supervise, ditopang, dijaga maka tidak banyak yg dapat ia pelajari (dengan melakukan kesalahan). Hal ini berlaku mulai dari dunia anak, bangku sekolah, hingga dunia kerja. Di dunia kerja Anda cukup beruntung kalau memiliki seorang supervisor yg sekaligus bisa menjadi mentor dalam menghadapi berbagai masalah. Any problem, bisa langsung tanya ke dia. To a certain extent, hal ini sangat memudahkan pekerjaan dan Anda bisa belajar lebih cepat karena bisa menghindari kesalahan-kesalahan yg tidak perlu dilakukan.

Di pihak lain, jika Anda terlalu bergantung kepada sang mentor, atau penyelia Anda terlalu mengawasi pekerjaan Anda karena ia begitu kuatir Anda melakukan kesalahan, Anda tidak bisa menjadi 'pembelajar' yg saya maksud di atas. Anda menjadi segan untuk beruji coba karena takut salah atau tidak mau menanggung risiko. Kecuali memang risiko yg ditanggung amat berbahaya, setiap kita idealnya lebih menyukai "tantangan" utk mempelajari pekerjaan itu sendiri. Seuntai pepatah dengan sangat tepat berujar: "A man becomes learned by making mistakes."

* Belajar itu tak terpuaskan
Belajar itu ada unsur kecanduannya, meskipun ini candu yg positif. Semakin banyak Anda belajar, semakin Anda sadar bahwa semakin banyak yg Anda masih perlu pelajari. Kalau tidak salah ingat, pertama kali saya mendengar kalimat ini dari guru matematika SMP saya yg paling yahud. Tidak belajar satu hari berarti mundur satu hari. Belajar sedikit dalam sehari berarti Anda tetap di tempat. Jadi bayangkan betapa jauhnya ketertinggalan kita apabila tidak belajar selama berminggu-minggu. Puncaknya, esensi kehidupan akan terhenti sama sekali kalau kita memutuskan tidak mau belajar lagi.

* Belajar berpikir di luar kotak
Istilah thinking out of the box sudah sering dikemukakan dan dibahas. Yang saya maksud di sini adalah seseorang yg sudah belajar dan menguasai spesialisasi tertentu begitu luas dan mendalam, namun mampu (atau mau) "melepaskan" dirinya dari seantero pengetahuan & pengalaman yg berada dalam otaknya dan mencoba melihat keadaan dari sudut pandang orang lain.

Contoh mudah berpikir di luar kotak: Seorang karyawan yg bisa berpikir seperti empunya bisnis perusahaan sehingga ia mampu berprestasi dan menghasilkan terobosan-terobosan kreatif di luar dari job description normalnya. Seorang businessman yg mau berempati dan menaruh dirinya dalam sepatu karyawan untuk setiap keputusannya sehingga ia dihormati bahkan disayangi oleh anak buahnya. Seorang rohaniwan yg mampu melihat masalah dari kacamata orang awam sehingga ia juga dapat berbicara dan menulis dalam "bahasa umat" dan bukan melulu "bahasa imam".

Mungkin tipe pembelajaran "out of the box" ini lebih mudah dikerjakan oleh mereka yg tidak memiliki keahlian di suatu bidang (specialist), tetapi mengerti sedikit mengenai banyak hal (generalist).

Challenge-nya adalah bagaimana menjadi generalist dengan latar belakang sebagai specialist. Untuk menjadi generalist, seorang pembelajar perlu menyukai banyak hal (Lihat poin "Belajar Menyukai Keberagaman" di atas). Sebagaimana saya sebutkan di atas, menyukai tidak sama dengan menguasai. Tidak mungkin kita bisa menguasai spesialisasi di banyak bidang, apalagi semua bidang. Dalam cerita2 dongeng dewa-dewi juga terspesialisasi: Ada dewa hujan, dewa matahari, dewa sungai, dewi padi, dewa dapur, dewa perang, dst. Hanya Tuhan Sang Pencipta saja yg menguasai semua spesialisasi di segala bidang dalam kehidupan ini karena memang Dia yg menciptakan segala sesuatu dan tanpa Dia tidak ada apa pun yg jadi dari segala yg telah dijadikan.

So, Manusia Pembelajar! Kita perlu realistis dan cukup berpuas dengan menjadi spesialist di sedikit bidang, namun sekaligus generalist di banyak bidang sehingga memperkaya kehidupan kita seraya mengakui Siapa Empunya Ultimat segala ilmu dan pengetahuan yg begitu melimpah dan tak terkatakan itu.

--
Salam pembelajar,

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Di sini