Jumat, 28 November 2008

Alamat.....oh....alamat

Saya ingat prolog Emha dalam sebuah buku saku, "Jangan remehkan alamat. Kalau alamat anda sudah disensus dan terdaftar di buku negara. alamat politik anda? Belum tentu Badan Intelejen Nasional mengetahuinya secara persis. Mungkin sekedar menduga - duga, atau terpaksa melakukan identifikasi karena harus dicatat dan diperiksa oleh Pak kepala.

Di koran jelas anda tokoh parpol tertentu, tapi tiga tahun kemudian masyarakat dan negara kecele, karena anda mendadak looncat ke parpol lain. Kesalahan dari intel dan masyarakat adalah mencari alamat politik anda melalui formalitas parpolnya, padahal sebenarnya alamat politik anda adalah Kampung Kekuasaan, Jalan Ambisi, gang kepentingan pribadi. JANGAN REMEHKAN ALAMAT. Miliaran orang di dunia ini meninggal dunia tanpa diketahui alamatnya yang pasti, kecuali alamat geografisnya.


Kawan-kawan saya banyak bilang begini, "Mas ikut partai kita mas, ini aspirasi warga ormas kiita lho." Saya jawab, " saya lebih suka berjuang dengan cara saya, saya lebih suka informal, silakan njenengan-njenengan berpolitik di partai." Mereka merespon balik, " ehm, Mas lebih cenderung ke partai A ya? yang lebih religius, adhem ayem."

Begitulah, begitu banyak kawan-kawan saya beramai-ramai memasuki pelbagai partai politik. Ada di PKS, ada di PAN, ada di PDIP, ada di PKB, ada di GOLKAR dan lain-lainnya. Tapi saya lebih menyukai seperti ini saja, mencoba berjuang untuk lingkungan terdekat saya, belajar mandiri. Saya tidak ingin menggunakan media parpol atau ormas untuk kepentingan - kepentingan saya sendiri, seperti untuk sumber nafkah, kekuasaaan dan previlege-previlage duniawi.

Mungkin kawan-kawan bingung dan hanya bisa menebak, saya itu simpatisan parpol A, simpatisan parpol B, anggota ormas A, dan sebagainya.

Saya sepakat lagi dengan Emha, Indonesia iniadalah negara yang kacau balau. Ibarat sepakbola. Indonesia adalah tim yang semrawut. Tidak jelas bedanya antara pemain dan penonton, tidak jelas bedanya gelandang dan tukang es di pinggir lapangan, tidak jelas bedanya antara kiper dan striker; yang diwakili tidak punya kuasa atas yang mewakili. Yang mewakili tidak kenal yang diwakilinya. Buruh yang diupah dan difasilitasi mobil mewah dari uang rakyat malah berperilaku seperti raja diraja yang kaya raya dan rakyat harus membungkukkan badan bila bertemu.

Birokrasi negeri ini telah menjelma menjadi perampok yang dilindungi undang-undang bagi rakyatnya sendiri. saya berpikir, ini adalah hasil pendidikan kita. Kita tidak bisa begitu saja menyalahkan para guru dan sekolah. Karena pendidikan bukan tanggungjawab semata mereka, masih ada yang semestinya bertanggungjawab, yaitu keluarga.

saatnya kita mawas diri, sebagai ayah, sebagai ibu sudahkah kita memerankan sebagai pendidik bagi keuarga kita? Jika kita ingin mengajarkan kejujuran jangan pernah kita berbohong. Jika ingin mengajarkan kasih sayang jangan pernah kita berkelahi.

dalam lingkup yang lebih luas, Indonesia ini adalah sebuah keluarga juga. Jangan sampai sesama anggota keluarga saling mengeksploitasi, memaki, menghina dan menjatuhkan.

Bisa tidak ya?

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan Tulis Komentar Di sini